Monthly Macro Review – September 2020

  • icon-jam4 years ago
  • icon-share
    Shares

Monthly Macro Review – September 2020

 

Sumber: Bloomberg, BI, BPS, MMI, Gaikindo, AISI

Outlook Summary

Data pada bulan September kembali melemah setelah sejak enam bulan penyebaran Covid -19 merebak di Indonesia. PMI Manufacturing dan Indeks Keyakinan Konsumen kembali turun setelah naik di bulan – bulan sebelumnya. Hal tersebut karena adanya kenaikan jumlah pasien positif Covid – 19 terutama di Jakarta sehingga pemerintah daerah akhirnya mengambil keputusan untuk memberlakukan kembali PSBB ketat. Meskipun PSBB sudah lebih lunak daripada sebelumnya, namun efek domino terhadap perekonomian cukup terasa. Hal ini yang membuat JCI terkoreksi 7,0%, sedangkan yield obligasi pemerintah 10 tahun cukup terjaga di 6,9%. Melihat dari pergerakan data dan grafik secara umum, penurunan ini cukup baik untuk terjadi setelah koreksi dalam di akhir bulan Maret, kemudian diteruskan dengan kenaikan sampai pada bulan Agustus. Kedepan fluktuasi akan semakin besar, sampai akhirnya pattern kenaikan akan lebih stabil seiring dengan perekonomian yang diharapkan terus membaik.

Perkembangan bulan terakhir pada kuartal ketiga membuat para investor untuk terus waspada bahwa meskipun pasar saham dan obligasi sudah naik signifikan dari bulan April ke bulan Agustus, kita belum lepas dari perjuangan melawan pandemi Covid – 19. Sebelum bulan September, jumlah kasus positif harian secara total di Indonesia masih di bawah 2.000 kasus/hari (Jakarta: <1.000 kasus/hari). Sementara di bulan September, angka kasus positif harian Indonesia mencapai diatas 2.000 kasus/hari (Jakarta: >1.000 kasus/hari), dan bahkan melebih 3.000 kasus/hari untuk beberapaa waktu. Pemerintah terus menerapkan protokol kesehatan yang terukur sehingga angka kasus positif sudah lebih stabil di akhir September.

Kita melihat kebijakan fiskal dan moneter yang diterapkan pemerintah dan Bank Indonesia cukup ekspansif. Pemerintah konsisten memberikan stimulus baik likuiditas dan kebijakan. Hal tersebut tercermin dengan naiknya likuiditas M2 yang naik 13% di bulan Agustus. Pemerintah dan Bank Indonesia sampai akhir September sudah melakukan private placement sebesar Rp183,48 triliun (46,2% dari total Rp 397,6 triliun melalui program SKB2). Likuiditas yang besar saat ini sangat dibutuhkan untuk merangsang aktifitas ekonomi untuk kembali berjalan. Sementara itu, Bank Indonesia mempertahankan bunga 7D RRR 4% meskipun inflasi September masih rendah di 1,42%. Cadangan devisa Bank Indonesia mengalami penurunan USD 1,8 miliar. Kebijakan tersebut digunakan oleh Bank Indonesia untuk mempertahankan kestabilan Rupiah di tengah gejolak perekonomian global akibat ancaman gelombang kedua penyebaran Covid – 19.

Kami masih cukup positif terhadap kelas aset pendapatan tetap meskipun selama bulan September banyak pemberitaan tentang adanya pembentukan Dewan Moneter di Bank Indonesia sehingga hal tersebut dilihat akan mengikis indepensi kebijakan moneter bank sentral Indonesia. Pemberitaan tersebut sudah disanggah oleh Menteri Keuangan dengan menegaskan komitmen pemerintah untuk tetap menjaga kredibilitas Bank Indonesia yang selama ini sudah dibangun dengan baik. Maka dari itu, kami masih melihat beberapa katalis yang bisa menarik minat investor untuk memiliki obligasi Indonesia khususnya obligasi pemerintah Indonesia seperti:

  1. Indonesia menawarkan real yield yang menarik diantara negara berkembang lainnya
  2. Spread antara obligasi bertenor 10 tahun dengan 10 tahun masih cukup lebar
  3. Rupiah yang relative stabil, disertai hedging cost yang stabil di bawah 5%.
  4. Pendanaaan pemerintah yang sudah memadai sehingga kemungkinan untuk menawarkan yield tinggi cukup kecil
  5. Inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil memberi celah bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga BI 7D RRR
  6. The Fed akan menahan suku bunga yang rendah untuk waktu yang cukup lama

Sementara itu, pada tahap ini kami melihat pasar saham lebih banyak kemungkinan untuk rally daripada koreksi. Indonesia sudah melewati periode terburuk di 2Q20. Target harga dari saham – saham sudah terdiskon cukup dalam saat iini dan IHSG masih jauh dari level 6,283 yang pernah tercapai di awal tahun ini (-20% dari level saat ini). Beberapa katalis yang menurut kami bisa menjadi bahan pertimbangan adalah:

  1. RUU Omnibus law Cipta kerja yang yang diajukan Pemerintah telah disahkan oleh DPR. Sehingga diharapkan Indonesia akan memiliki kebijakan yang lebih kompetitif dan dapat bersaing dengan negara berkembang lainnya untuk menangkap peluang investasi global. Momentum pengesahan undang – undang ini juga tepat dimana banyak perusahaan global yang berminat untuk mendiversifikasikan supply chain keluar dari satu negara seperti hanya di China sehingga produksi tidak terganggu bisa terjadi suatu hal seperti pandemic penyakit.
  2. Pengetesan vaksin – vaksin memasuki tahap lanjutan. Kami memahami bahwa pengetesan vaksin sampai mendapatkan ijin masih membutuhkan waktu. Namun hal ini bisa membangkitkan optimism masyarakat untuk bisa beraktifitas normal kembali bila vaksin – vaksin tersebut sudah disebar luaskan kepada masyarakat.
  3. Anggaran stimulus pemerintah akan dikeluarkan lebih banyak di kuartal terakhir tahun 2020. Penyerapan stimulus tersebut masih kurang dari 50% dari total alokasi Rp 697 triliun. Dengan menyisakan tiga bulan, pemerintah akan mempercepat penggunaan stimulus sehingga dapat meringankan bebas masyarkat saat ini.
  4. Pemilu di Amerika Serikat akan dimulai beberapa minggu kedepan. Pasar akan lebih jelas melihat kebijakan apa yang akan diambil oleh pemerintah baru dalam menghadapi penurunan ekonomi Amerika Serikat saat ini. Jika pemilu selesai, maka salah satu penyebab ketidak pastian di pasar dapat berkurang.
  5. Pembukaan kembali Jakarta seturut menurunnya jumlah pasien positif Covid – 19 adalah yang diharapkan oleh masyarakat sehingga ekonomi Jakarta dapat berjalan normal kembali.
  6. Dengan menurunnya imbal hasil deposito dari perbankan, para investor dapat mencari kelas aset lain yang dapat memberikan imbal hasil lebih tinggi seperti saham dan obligasi. Dividend yield dari saham masih memberikan rata – rata 4% pa dan bond yield 10 tahun bisa memberikan hampir 7% pa.

 

Inflasi inti menembus di bawah level 2%

Perkembangan Tingkat Inflasi

 

Gambar 1. Perkembangan Tingkat Inflasi

Inflasi bulanan Indonesia masih mencatatkan deflasi, yaitu -0,05% mom dan merupakan bulan ketiga berturut – turut. Dengan ada pembatasan aktifitas di berbagai daerah untuk mengurangi penyebaran Covid – 19, maka kegiatan ekonomi ikut terbatasi terutama bisnis makanan minuman serta trasportasi. Sehingga tidak mengherankan bila kelompok makanan, minuman, dan tembakau dan kelompok transportasi mengalami deflasi sebesar masing – masing -0,37% dan -0,33%. Semetara itu kelompok yang mengalami kenaikan indeks terbesar adalah kelompok pendidikan 0,62%.

Untuk inflasi tahunan ada pada tangkat indeks 1,43% yoy, angka tersebut masih rendah meskipun ada kenaikan dari bulan September 1,32% yoy. Inflasi inti terus mengalami penurunan sejak bulan April 2020 dan saat ini berada pada level dibawah 2% yaitu 1,86% yoy.

Inflasi inti adalah menghitung perubahan harga barang dan jasa tanpa memasukan harga pangan dan energy. Harga pangan dan energi dikecualikan karena volatilitas harga – harga tersebut terlalu tinggi. Inflasi inti menjadi penting karena angka ini mencerminkan hubungan antara perubahan harga barang dan jasa dengan pendapatan konsumen. Jika terjadi kenaik harga barang dan jasa dimana pendapatan konsumen tidak berubah, maka konsumen akan kehilangan kemampuan untuk membeli. Jika mengartikan data inflasi inti Indonesia yang terus turun, maka kita dapat melihat harga barang dan jasa yang terus menurun akibat pembatasan aktifitas ekonomi. Pemerintah berusaha keras menyalurkan bantuan langsung bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk dapat menjaga pendapatan yang turun akibat dampak pandemi ini.

Surplus neraca perdagangan keenam pada bulan Agustus sebesar USD2.327 juta

Perkembangan Neraca Perdagangan

Gambar 2. Perkembangan Neraca Perdagangan

Ekspor Indonesia masih mengalami penurunan dimana perekonomian dunia masih belum pulih seutuhnya. Nilai ekspor Indonesia secara kumulatif di bulan Agustus turun 6,5% ytd (Agustus turun 8,4% yoy) dimana hasil industry pengolahan turun 1,18% ytd dan hasil tambang dan lainnya turun 22,45% ytd. Sedangkan ekspor hasil pertanian naik 8,59% ytd. Dengan pulihnya perekonomian China dan Amerika Serikat, maka tidak mengherankan bahwa ekspor tujuan kedua negara tersebut masih yang terbesar bagi Indonesia.

Import Indonesia secara kumulatif turun 18,1% ytd (Agustus 24,2% yoy) dimana penurun terbesar terjadi pada impor bahan baku turun 18,9% ytd dan barang modal 20,1% ytd. Hal tersebut dapat dipahami dimana kegiatan produksi dan konstruksi tidak dalam kapasitas optimal karena mengikuti protokol kesehatan yang diberikan pemerintah.

 

Likuiditas naik significant di bulan Agustus untuk mendorong penurunan suku bunga

Perkembangan Uang Beredar

Gambar 3. Perkembangan Uang Beredar

Bank Indonesia mecatatakan pertumbuhan kredit yang sangat rendah di 1,0% yoy (Juli 1,5% yoy) dan pertumbuhan DPK yang meningkat sebesar 11,6% yoy (Juli 13,1% yoy) pada bulan Agustus. Hal tersebut bahwa masyarakat dan perbankan masih lebih memilih wait and see untuk melakukan aktifitas bisnis akibat pengaruh pandemi Covid – 19.
Maka dari itu, per 15 September 2020 Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sekitar Rp 662,1 triliun yang bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 491,3 triliun. Hal tersebut berdampak pada penurunan suku bunga deposito dan kredit modal kerja menjadi 5,5% dan 9,4%. Kebijakan moneter tersebut dibutuhkan untuk mendorong pemulihan ekonomi yang lebih efektif dimana saat ini tertahan di sistem perbankan.

M1 dan M2 naik 19,3% yoy dan 13,3% yoy masing – masing pada bulan Agustus didorong oleh dampak ekspansi fiskal pemerintah. Kami melihat penyaluran stimulus pemerintah per akhir Agustus baru mencapai 31% sedangkan akhir September mencapai 44% dari keseluruhan Rp 695 triliun. Menurut kami baik M1 dan M2 akan tetap tumbuh tinggi untuk bulan – bulan berikutnya dimana baik kebijakan fiskal dan moneter sedang ekspansif untuk pemulihan ekonomi nasional.

 

Bank Indonesia terus menjaga mata uang Rupiah dengan mempertahankan  BI 7D RRR di 4% pada September

Perkembangan Suku Bunga BI

Gambar 4. Perkembangan Suku Bunga BI

Bank Indonesia menjalankan kebijakan moneter yang ekspansif dengan terus memberikan likuiditas yang tinggi ke pasar sembari menjaga nilai tukar Rupiah dengan mempertahankan BI 7D RRR di 4,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25% dan suku bunga Lending Facility 4,75% di bulan September. Pada minggu terakhir bulan September, sempat terjadi kekhawatiran akan merebaknya gelombang kedua dari penyebaran Covid – 19. Rupiah terdepresiasi sebesar 2,2% selama satu bulan atau 7,3% ytd. Bank Indonesia masih bisa memperkuat nilai tukar Rupiah melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar.

 

Menstabilkan Rupiah, cadangan devisa September turun USD 1,8 Miliar.

Perkembangan Cadangan Devisa

Gambar 5. Perkembangan Cadangan Devisa

Setelah mengalami peningkatan selama 5 bulan, cadangan devisa di bulan September turun menjadi USD 135,2 miliar dari bulan sebelumnya USD 137,0 miliar. Penurunan tersebut lebih dikarenakan usaha Bank Indonesia untuk menstabilkan Rupiah pada gejolak mata uang dimana investor global kembali memburu US dollar di bulan September seiring peningkatan pasien positif Covid -19 di seluruh dunia. Selain itu, pemerintah melakukan pembayaran utang luar negeri menjadi salah satu faktor kenaikan mata uang asing. Meskipun turun, cadangan devisa bulan September masih cukup tinggi atau setara dengan pembiayaan 9,5 bulan impor.

Kami melihat strategi yang dipergunakan Bank Indonesia cukup efisien dalam menstabilkan Rupiah. Bank Indonesia mampu mengumpulkan cadangan devisa disaat ekspor lebih besar dibandingkan dengan impor. Jika gejolak mata uang terus terjadi, Bank Indonesia  memiliki amunisi yang cukup untuk menstabilkan mata uang Rupiah.

 

PMI Manufacturing Indonesia kembali mengalami kontraksi pada bulan September

Perkembangan PMI

Gambar 6. Perkembangan PMI

Setelah mencatatkan kenaikan berturut sejak bulan April sampai Agustus, PMI Manufacturing Indonesia kembali mengalami penurunan ke zona kontraksi di level 47,2. Hal tersebut lebih dikarenakan oleh kebijakan pemerintah Jakarta untuk kembali menerapkan PSBB ketat untuk kedua kalinya. Kebijakan ini terpaksa diambil karena peningkatan jumlah pasien positif Covid – 19 yang terjadi sejak akhir Agustus. Meskipun kebijakan PSBB kali ini lebih lunak dibandingkan dengan PSBB pertama kali dimana masyarakat diperbolehkan untuk tetap membuka usaha dengan tetap mematuhi protokol yang digariskan pemerintah, namun kebijakan tersebut memiliki efek yang luas. Jika pada bulan sebelumnya para produsen mulai menambah bahan baku produksi dan mulai merekrut tenaga kerja seiring naiknya permintaan akan barang, maka dengan adanya kebijakan ini permintaan akan barang sudah pastinya akan menurun.

Kami melihat bila angka pasien sudah bisa menurun, maka kegiatan aktifitas secara keseluruhan akan kembali bisa dilaksanakan. Dengan demikian perekonomian Indonesia yang banyak didukung dari konsumsi domestik akan mendorong permintaan barang kembali naik. Di saat itu, PMI Manufacturing bisa kembali naik seperti yang sudah terjadi pada China.

 

IKK, IEK, dan IKE serentak kembali turun pada bulan September

Perkembangan IKK

Gambar 7. Perkembangan IKK

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) kembali mengalami penurunan ke level 83,4 pada bulan September setelah mengalami perbaikan sejak bulan Juni ke bulan Agustus. Namun IKK secara keseluruhan masih pada zona pesimis sejak bulan April kerena selalu berada di bawah level 100. Penurunan IKK tersebut tidak bisa dipisahkan dari penurunan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) terhadap ekonomi pada 6 bulan mendatang yang juga mengalami penurunan ke level 112,6 dari bulan sebelumnya 118,2, meskipun IEK berada pada zona optimis di atas level 100. Indeks Kondisi Ekonomi bulan September juga turun ke level 54,1 dari bulan sebelumnya di level 55,6.

Penurunan ini juga disebabkan oleh PSBB yang kembali diperketat dimana minat masyarakat untuk beraktifitas menurun. Protokol kesehatan yang ketat seperti dilarang makan di tempat utk semua jenis bisnis makanan, pembatasan maksimal 50% kapasitas pertokoan dan pusat pembelanjaan, menjaga jarak (social distancing) satu sama lain dan masih banyak lagi ketentuan yang harus dipatuhi membuat masyrakat kurang berminat untuk mengkonsumsi atau berbelanja. Masyarakat juga semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan dengan menghindari tempat keramaian. Menurut kami, masyarakat akan lebih berani beraktifitas secara normal bila sudah ada vaksin yang dinyatakan berhasil untuk disebarluaskan. Selain itu, pemerintah pusat dan lokal bisa memastikan protokol yang baik dengan tidak mengorbankan ekonomi masyarakat luas.

 

Penjualan kendaraan 4W dan 2W menunjukkan peningkatan

Perkembangan Penjualan Otomotif

Gambar 8. Perkembangan Penjualan Otomotif

Penjualan kendaraan roda empat (4W) terus menunjukan adanya peningkatan dari bulan ke bulan dimana penjualan total bulan Agustus mencapai 37 ribu unit dari 25 ribu di bulan Juli. Namun angka tersebut masih jauh dari penjualan bulan Agustus tahun lalu di 92 ribu unit atau turun 58,8% yoy. Rata – rata penjualan kendaraan 4W Januari – Agustus tahun lalu berada pada angka 83 ribu unit per bulan, sedangkan rata – rata penjualan Januari – Agustus tahun ini hanya mencapai 40 ribu unit per bulan.

Demikian juga terjadi pada penjualan kendaraan roda dua (2W) pada bulan Agustus yang naik menjadi 317 ribu unit dari 292 ribu unit di bulan sebelumnya. Namun bila membandingkan angka penjualan 2W bulan Agustus 2020 dan Juli 2020 terhadap periode yang sama tahun sebelumnya, maka periode bulan Agustus masih mengalami penurunan ke -46,9% yoy dibanding periode bulan Juli -44,5% yoy.  Menurut kami penjualan kendaraan baik roda dua dan empat akan bertumbuh dimana bunga pembiayaan semakin rendah dan uang muka yang makin ringan.

 

DISCLAIMER

Pendapat yang diungkapkan dalam artikel adalah untuk tujuan informasi umum saja dan tidak dimaksudkan untuk memberikan saran atau rekomendasi khusus untuk individu atau produk keamanan atau investasi tertentu. Ini hanya dimaksudkan untuk memberikan edukasi tentang industri keuangan. Pandangan yang tercermind dalam konten dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan. Seluruh data kinerja dan return investasi yang tertera di artikel ini tidak dapat digunakan sebagai dasar jaminan perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksa dana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksa dana.

Written by

Willy Gunawan

Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *